Diterbitkan Tanggal : December 15, 2015
Kualitas pendidikan yang tidak merata yang diterima anak Indonesia menjadi salah satu pendorong utama melebarnya ketimpangan di Indonesia. Menurut laporan Bank Dunia bertajuk Indonesia’ Rising Divide, ketimpangan peluang terjadi ketika tidak semua anak mendapatkan awal yang baik di sekolah. Anak-anak yang tinggal di luar Jawa atau di wilayah pedesaan masih jarang yang mengikuti program pendidikan anak usia dini, di mana proses pembelajaran dimulai.
Di tingkat sekolah dasar (SD), angka partisipasi sekolah hampir merata. Kesenjangan angka partisipasi sekolah menengah pertama (SMP) antara anak yang lebih kaya dan lebih miskin semakin berkurang seiring waktu. Meskipun demikian, anak yang lebih miskin tidak naik ke jenjang pendidikan berikutnya pada taraf yang sama dengan anak yang lebih kaya.
Selain itu, tantangan terbesar untuk kesetaraan awal bagi semua orang adalah kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah di pedesaan dan di Indonesia Timur lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki guru terlatih atau fasilitas memadai. Tidak adanya guru juga menjadi masalah di beberapa daerah.
Ketimpangan kualitas pendidikan tetap terjadi bahkan jika anak miskin tetap bersekolah. Nilai yang mereka dapatkan seringkali lebih kecil dari yang didapatkan anak kaya. Ini berdampak buruk pada hasil pembelajaran murid-murid miskin dan di daerah terpencil. Contohnya, anak kelas tiga sekolah dasar di Jawa membaca 26 kata per menit lebih cepat dibandingkan anak di Nusa Tenggara, Maluku atau Papua. Demikian pula, anak yang lebih kaya membaca 18 kata lebih cepat daripada anak yang lebih miskin.
Rendahnya kualitas pendidikan untuk mereka yang kurang beruntung (mayoritas anak Indonesia) menyebabkan rendahnya kualitas rata-rata hasil pembelajaran. Tujuh puluh empat persen anak Indonesia usia 15 tahun bahkan tidak mencapai kemampuan dasar tingkat dua (nilai 420) dalam tes matematika dan sains internasional PISA. Ini adalah nilai kelima terburuk dari 82 negara.
Kesenjangan akses untuk bersekolah perlahan mulai berkurang, tapi tetap harus diikuti oleh peningkatan kualitas pendidikan agar dapat mengurangi ketimpangan.
Setidaknya, semua anak semua anak harus didorong untuk tetap bersekolah sampai selesai SMA. Artinya pemerintah perlu meningkatkan akses di daerah tertentu, meningkatkan penargetan, cakupan, tingkat manfaat dan penyerapan beasiswa untuk rumah tangga miskin di semua daerah serta pemberian insentif bagi siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Namun, ketimpangan peluang dapat berkurang lebih jauh dan pertumbuhan ekonomi lebih meningkat, jika kesenjangan kualitas diatasi (manfaat dalam hal pertumbuhan ekonomi untuk Indonesia diperkirakan sekitar tujuh kali lebih tinggi jika kesenjangan kualitas dikurangi, dibandingkan jika kesenjangan akses dikurangi.)
Mungkin diperlukan manajemen sekolah yang menyeluruh dan reformasi pendidikan seperti yang berhasil dilakukan di negara lain, dan mencari jawaban mengapa penerapan reformasi semacam ini di Indonesia masih tersendat. Ada beberapa tindakan spesifik yang dapat membantu, antara lain:
Diharapkan pemerintah dapat mengambil tindakan lebih serius dan cepat dalam menangani ketimpangan. Kerjasama dengan swasta, organisasi non-profit, LSM, dll dapat mempercepat pengurangan kesenjangan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.