Diterbitkan Tanggal : April 5, 2014
Pernah punya keinginan untuk menyumbang ke orang-orang yang membutuhkan tapi menunggu kaya dulu?
Bai Fangli tidak.
Ia adalah seorang penarik becak dari Tianjin, China.
Meski sudah merencanakan pensiun setelah bertahun-tahun menarik becak, Bai Fangli kembali bekerja dan menarik becak lagi selama lebih dari 20 tahun. Ia rela menarik becak lagi di usianya yang sudah senja untuk dapat memberikan donasi ke anak-anak tak mampu di daerahnya.
Bai sudah lama menarik becak, sampai akhirnya, ia memutuskan untuk pensiun pada umur 74 tahun. Namun, ia berubah pikiran setelah pulang ke kampung halamannya dan menyaksikan sendiri kemiskinan yang menggerogoti masa depan anak-anak Tianjin.
Sejak saat itu, Bai Fangli mengurungkan untuk pensiun dari pekerjaannya, malah, ia bekerja lebih giat lagi supaya dapat mengumpulkan lebih banyak uang.
Bai Jinfeng, anak dari Bai Fangli berkata “Ayah pernah menanyakan, kenapa anak-anak di sini tak bersekolah? Lalu saudara-saudara kami menjawab bahwa anak-anak terlalu miskin untuk dapat membayar uang sekolah. Ayah merasa tergugah dan memutuskan untuk menyumbangkan seluruh tabungannya yang bernilai sekitar 10 juta (sudah di-kurs ke rupiah, red) ke sekolah supaya anak-anak tak perlu membayar lagi”.
Setelah menyerahkan seluruh hartanya, Bai kembali bekerja. Dan sejak saat itu, seluruh penghasilannya digunakan untuk menyokong biaya sekolah 300-an anak di Tianjin, China. Meski anak-anaknya memaksa Bai untuk berhenti bekerja dan menikmati hari tuanya, Bai tak bergeming.
Bai mulai bekerja sejak subuh hingga petang, penghasilannya sehari-hari sekitar 50 ribu (sudah di-kurs ke rupiah, red). Bai adalah seorang buta huruf. Ia tidak mendapat pendidikan yang baik. Oleh karena itu, ia tidak ingin generasi berikutnya merasakan hal yang sama.
Bai memutuskan untuk pindah ke sebuah kamar sewaan dekat Stasiun Tianjin dan stand-by selama 24 jam sehari. Penghasilan sebesar 40-50 ribu per hari digunakannya untuk makan ala kadar dan disimpan untuk tabungan. Secara berkala, tabungan tersebut ia setorkan sebagai donasi ke SMP Tianjin YaoHua. Sehari-hari, Bai mengenakan pakaian bekas yang ia pungut di suatu tempat, dan tak pernah membeli pakaian baru. Setiap ada yang membelikannya pakaian baru, ia selalu marah dan tak mau memakainya. Bai merasa, bahwa, semua pakaian itu sama. Lagipula, dengan memakai pakaian bekas, ia juga ikut mengurangi sampah yang ada di kota.
Pada 2011, saat usia Bai sudah 90-an tahun, itulah terakhir kalinya Bai menarik becaknya menuju ke SMP Tianjin YaoHua. Bai tak pernah lupa kapan harus memberikan donasi ke sekolah tersebut. Setiap kali ia memberikan uang, ia merasa bahagia.
Setelah sampai ke sekolah tersebut, dengan peluh bercucuran dan senyum mengembang, Bai membisikkan kata-kata terakhir untuk mereka. Ia sudah tua, dan tak sanggup lagi bekerja. Sehingga, uang yang ia serahkan kala itu merupakan donasi terakhirnya. Ia pun berpesan, “Semoga, kelak, kalian dapat belajar giat dan bekerja keras untuk berkontribusi ke negara ini”. Anak-anak dan para guru terlihat menitikkan air mata.
Perjalanan Bai menyokong kebutuhan belajar anak-anak tak mampu itu berlangsung selama dua puluh tahunan. Pada 2005, Bai didiagnosa mengidap kanker paru-paru, dan meninggal di tahun yang sama.
Tidak sulit bukan untuk menjadi dermawan?
Sanggupkah kita?
(Shei/ Berbagai Sumber)